Apa sesungguhnya fair value? selama ini, sistem akuntansi di Indonesia menggunakan konsep historical cost. Konsep ini menggunakan pendekatan biaya perolehan menghasilkan nilai buku. untuk berbagai kepentingan, laporan nilai buku itulah yang selama ini lazim dijadikan acuan untuk menilai sebuah perusahaan. Dengan kondisi pasar yang semakin dinamis, dan berkembang sangat cepat, akhirnya konsep historical cost dianggap tidak cocok lagi, karena tidak mencerminkan nilai pasar. Sebagai gantinya digunakan konsep Fair Value.

Berbeda halnya dengan Amerika Serikat yang bersikap secara perlahan menerapkan Fair Value measurement yang telah diatur dengan sangat kompleks, detail, rinci oleh GAAP, Indonesia begitu mengetahui pasar sedang bergejolak dan kondisi di dalam negeri juga belum siap benar, Indonesia lebih memilih menunda penerapan Fair Value. Indonesia akhirnya baru menerapkan fair value secara penuh pada 2012.

masalah ketidaksiapan Indonesia juga diakui Jusuf Wibisana. Menurut mantan Ketua DSAK tersebut, DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) memang belum pernah melakukan penelitian tentang kesiapan Indonesia dalam menerapkan fair value. Namun, diakui Jusuf, ada beberapa pihak atau bidang yang sudah siap, tapi banyak juga yang belum siap. Namun demikian, DSAK sudah menyusun beberapa standar yang semua mengacu pada IFRS/IAS, termasuka didalamnya konsep fair value. Diantaranya adalah PSAK no 30 tentang sewa beserta PSAK no 8. PSAK no 13 tentang Properti Investasi, PSAK no 16 tentang aset tetap dan PSAK 50 dan PSAK 55 tentang Instrumen Keuangan. DSAK juga menerbitkan buletin teknis sebagai panduan untuk melakukan perhitungan fair value pada standar-standar tersebut. Hampir seluruh Pronouncement the International Accounting Standard Board sudah menerapkan dasar fair value, Indonesia juga akan mengadopsinya.

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) dalam beberapa peraturannya juga telah mengadopsi atau memasukkan konsep fair value, diantaranya IX.E.I tentang Transaksi afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, IX.E.2. tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama, IX.G.I tentang penggabungan usaha atau peleburan usaha perusahaan publik/emiten, IX.L.I. tentang Tata cara Pelaksanaan Kuasi Reorganisasi dan IV.C.2. tentang Nilai Pasar wajar dari efek dalam portofolio reksadana. Menurut Kepala Bidang Akuntansi Keuangan dan Pemeriksaan Bapepam-LK Etty Retno Wulandari, mengatakan, untuk penerapan fair value di lingkungan pasar modal, Bapepam-LK akan selalu mengikuti dan meng-enforce semua standar yang dikeluarkan DSAK.

pelaku dunia usaha sendiri, menurut Hamid, banyak yang belum siap dengan fair value. Mereka belum siap untuk terbuka dan transparan bagi pihak lain atau investor yang ingin melihat isi perusahaan mereka. “Masih ada yang seperti itu,” katanya. Disamping itu, Hamid menilai pemerintah atau regulator juga belum benar-benar siap paket-paket regulasi yang menjamin adanya keterbukaan informasi pasar.

salah satu sektor yang juga dinilai belum siap menerapkan fair value adalah perbankan. Menurut Manajer Senior PT Batavia Properindo Sekuritas, Ricky Ichsan, perbankan merupakan sektor yang paling belum siap menerapkan fair value. karena itulah, PSAK 50 dan PSAK 55 tentang Instrumen Keuangan yang sedianya diberlakukan tahun ini diundur hingga 2010. Sebagai gantinya, Bank Indonesia (BI) memberlakukan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI). Dibanding sektor lain, penerapan fair value di mata Ricky tergolong paling rumit dan kompleks. Sebab tak semua instrumen keuangan atau aset bank diperdagangkan di pasar modal.

Namun penundaan PSAK 50 dan PSAK 55 itu, menurut Kepala Biro Penelitian dan Pengaturan Bank – BI, Narni Purwati, menguntungkan perbankan Indonesia. “Ini memberikan tambahan waktu bagi bank untuk melakukan penyesuaian di bidang sistem teknologi, proses bisnis, infrastruktur, dan persiapan SDM” kata Narni.

sembari menunggu deadline 2012, semua pihak terkait, menurut Jusuf Wibisana, harus menyiapkan berbagai langkah penerapan fair value tersebut. Semua PSAK yang diterbitkan DSAK tersebut nantinya harus dijadikan pedoman dalam menyusun laporan keuangan berbasis fair value. Setelah 2012, perusahaan atau entitas yang menggunakan laporan keuangannnya masih tidak menggunakan fair value, oleh auditor akan diberi opini tidak bersih. Opini itu akan menurunkan tingkat kepercayaan publik. “Karena itu, baik regulator, pelaku usaha, maupun pihak-pihak terkait harus bersama-sama melakukan upaya-upaya serius agar penerapan fair value sesuai harapan,” katanya.

Meskipun secara penuh baru akan menerapkan IFRS di tahun 2012, dalam beberapa kasus atau entitas konsep fair value ini di Indonesia sudah diterapkan. Saham yang diperdagangkan di pasar modal, misalnya menurut Ricky Ichsan, dengan sendirinya penilaian sudah menggunakan fair value.

Hanya, menurut Etty Retno Wulandari, untuk penyusunan laproan keuangan bagi perusahaan publik atau emiten, konsep fair value baru diterapkan tahun 2009. Hasilnya seperti apa memang belum bisa diketahui, sebab laporan keuangan emiten berbasis fair value baru diterima Bapepam-LK bulan April 2009 ini. “Jadi belum bisa dikomentari hasilnya seperti apa’” katanya.

Di lingkungan Dana Pensiun, fair value juga sudah diterapkan. Hanya menurut Wakil Ketua Bidang Investasi Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Joni Rolindrawan, DSAK masih memberikan opsi, Pengelola dana pensiun boleh menggunakan hold to maturity, boleh juga mark to market atau fair value. “Hanya, penerapannya harus konsisten. Sekali pakai hold to maturity seterusnya harus begitu. Kalau pakai mark to market, juga harus seterusnys begitu. Tidak boleh ganti-ganti,” katanya.

Meskipun telah disepakati bahwa Indonesia akan menerapkan konsep fair value, namun banyak kalangan mengingatkan untung rugi atau risiko-risiko yang ditimbulkannya. Bagi Ricky, fair value akan menguntungkan pelaku pasar atau investor karena memang mencerminkan nilai pasar yang sebenarnya. “Sebab informasi pasarnya terkini. Hanya, memang, kita akan kesulitan untuk menilai pasar yang tidak aktif. Dan untuk itu diperlukan penilaian model,” katanya.

Hal senada, diungkapkan Jusuf Wibisana. Dibanding historical cost, fair value memiliki tiga keunggulan, yaitu laporan keuangan menjadi lebih relevan untuk dasar pengambilan keputusan; meningkatkan keterbandingan laporan keuangan; dan informasi lebih dekat dengan apa yang diinginkan oleh pemakai laporan keuangan. Dengan demikian, potensi laba/rugi sebuah perusahaan jauh jauh hari sudah bisa diprediksikan.

Namun, Jusuf Wibisana juga masih memberikan catatan bagi penerapan fair value ini. sebagai contoh, untuk penentuan apakah suatu pasar itu aktif atau tidak aktif adalah persoalan krusial dan tidak mudah. Selain itu, pasar mungkin aktif untuk instrumen tertentu, dan tidak aktif untuk instrumen lainnya, dan ini juga tergolong hal yang sulit. Catatan lain lagi adalah, keberadaan willing sellers dan willing buyers kadang tidak cukup untuk menjustifikasi apakah suatu pasar terbilang aktif. “Dan, harga yang terbentuk dalam forced transaction, forced liquidation, atau distressed sales mungkin tidak mencerminkan nilai wajar yang sebenarnya,” katanya.

Secara umum, menurut Hamid Yusuf, penerapan fair value akan menguntungkan perekonomian Indonesia. Sebab, tanpa fair value, aset-aset perekonomian nasional, baik yang dimiliki swasta maupun pemerintah, selama ini dinilai terlalu rendah, jauh lebih rendah dari nilai sewajarnya. Ia mencontohkan set-aset perusahaan perkebunan yang hingga saat ini masih menggunakan nilai buku. Sebagai gambaran, sebelum 1997, kebun sawit seluas satu hektare, misalnya cukup dibangun dengan uang Rp 12 juta atau hanya Rp 6 juta sebelum tahun 1990-an. Setelah terjadi krisis moneter 1998/1998, ketika harga dolar AS sudah naik tiga kali, untuk hal yang sama dibutuhkan biaya sampai Rp 30 juta. Sehingga, orang baru membuka perusahaan perkebunan, nilai bukunya sudah diatas Rp 25 juta semua. Padahal, penghasilannya sama dengan kebun-kebun lama yang lebih murah biayanya. Tapi nilai buku kebun lama kecil. “Ini tidak menggambarkan nilai yang sebenarnya.”katanya.

(sumber: Akuntan Indonesia, majalah edisi no 16,April 2009, Ikatan Akuntan Indonesia)