§ American Psychological Association § Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia | § Ikatan Naturopatis Indonesia | § ISACA § Masyarakat Komputasi Indonesia § Perdami § Perhimpunan Advokat Indonesia |
Minggu, 23 Oktober 2011
Organisasi profesi yg ad d’indonesia
ETIKET
PENGERTIAN ETIKET
tau gak gan?? Arti etiket ntuh ap??
Klo yg ane dpt dr Kamus Umum Bahasa Indonesia sih, buanyak arti dari kata “etiket”, yaitu :
1. Etiket (bahase Belanda nih yee) : secarik kertas (emg ny ap yg d’carik-carik??) yang ditempelin pada kemasan barang-barang (dagang) yang tulisan nye nama, isi same sebagian tentang barang itu.
2. Etiket (nyang nih pake bahase Perancis) : adat sopan santun or tata krama yang perlu selalu diperhatikan klo kita gaol d’luaran gitu biar hubungan nye baek, aman tentram(emg ny mau ronda ap, pke aman segala)
Klo beda ny nih gan antara ETIKET DENGAN ETIKA
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” (2000) ngasih 4 (empat) cem-macem perbedaan etiket dengan etika, yaitu :
1. Etiket : yg biasa kite lakuin di rokum/yg biasa di lakuin manusia (sebangsa jin sama setan gak termsuk dimari gan). Aye kasih contoh yee : kalo kita ngasih makanan ap uang kek, usahain pake tangan kanan gan. Kalo pake tangan kiri ntuh namanya songong (ngertii gag an!!)
2. Pko nye Etiket berlaku nye kalo pas lagi rame aja, saat kita ga sendiri (kaya kita lg kongkow-kongkow gitu). Kalo ga ad org d’tempat kita berate etiket ntu ga berlaku. Contoh nya lg nih gan : gw lg mkn sm plend/sobat kita,eh tau-tau nye tuh sikil d’taro d’ats meja, ntuh nama ny kita nglanggar etiket. tp kalo gw lg mkn sendokiran (alias gak ad org gitu) ntuh nama nye ga ngelanggar etiket. Nah etiket ntuh berlaku dmn aj sm sapa aj n’ kpn aj
3. Etiket ntuh sifat nye relative (ngk d’anggap ngk sopan dlm kebudayaan yang d’mksud), bisa aj sih d’anggap sopan sm kebudayaan lain. Ane contohin lg nih (jgn bosen yah gan??) : makan pake tangan atau sendawa pas makan (ngeluarin suara ky kodok gitu).
Etika sifat nye absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” biasa nye prinsip yg ga bias d’ganggu gugat gan.
4. Etiket bias any d’pandang manusia dari segi luar nye aj. bisa jg tuh org munafik (munaroh mkn keripik). Missal nih : Bisa aj orang tampi kaya “manusia berbulu ayam”, d’luar sopan, bae-baein kite, tapi dlm ny busuk.
Minggu, 02 Oktober 2011
Fair Value
Rencana Penerapan Fair Value di Indonesia
14 Desember 2009
Apa sesungguhnya fair value? selama ini, sistem akuntansi di Indonesia menggunakan konsep historical cost. Konsep ini menggunakan pendekatan biaya perolehan menghasilkan nilai buku. untuk berbagai kepentingan, laporan nilai buku itulah yang selama ini lazim dijadikan acuan untuk menilai sebuah perusahaan. Dengan kondisi pasar yang semakin dinamis, dan berkembang sangat cepat, akhirnya konsep historical cost dianggap tidak cocok lagi, karena tidak mencerminkan nilai pasar. Sebagai gantinya digunakan konsep Fair Value.
Berbeda halnya dengan Amerika Serikat yang bersikap secara perlahan menerapkan Fair Value measurement yang telah diatur dengan sangat kompleks, detail, rinci oleh GAAP, Indonesia begitu mengetahui pasar sedang bergejolak dan kondisi di dalam negeri juga belum siap benar, Indonesia lebih memilih menunda penerapan Fair Value. Indonesia akhirnya baru menerapkan fair value secara penuh pada 2012.
masalah ketidaksiapan Indonesia juga diakui Jusuf Wibisana. Menurut mantan Ketua DSAK tersebut, DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) memang belum pernah melakukan penelitian tentang kesiapan Indonesia dalam menerapkan fair value. Namun, diakui Jusuf, ada beberapa pihak atau bidang yang sudah siap, tapi banyak juga yang belum siap. Namun demikian, DSAK sudah menyusun beberapa standar yang semua mengacu pada IFRS/IAS, termasuka didalamnya konsep fair value. Diantaranya adalah PSAK no 30 tentang sewa beserta PSAK no 8. PSAK no 13 tentang Properti Investasi, PSAK no 16 tentang aset tetap dan PSAK 50 dan PSAK 55 tentang Instrumen Keuangan. DSAK juga menerbitkan buletin teknis sebagai panduan untuk melakukan perhitungan fair value pada standar-standar tersebut. Hampir seluruh Pronouncement the International Accounting Standard Board sudah menerapkan dasar fair value, Indonesia juga akan mengadopsinya.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) dalam beberapa peraturannya juga telah mengadopsi atau memasukkan konsep fair value, diantaranya IX.E.I tentang Transaksi afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, IX.E.2. tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama, IX.G.I tentang penggabungan usaha atau peleburan usaha perusahaan publik/emiten, IX.L.I. tentang Tata cara Pelaksanaan Kuasi Reorganisasi dan IV.C.2. tentang Nilai Pasar wajar dari efek dalam portofolio reksadana. Menurut Kepala Bidang Akuntansi Keuangan dan Pemeriksaan Bapepam-LK Etty Retno Wulandari, mengatakan, untuk penerapan fair value di lingkungan pasar modal, Bapepam-LK akan selalu mengikuti dan meng-enforce semua standar yang dikeluarkan DSAK.
pelaku dunia usaha sendiri, menurut Hamid, banyak yang belum siap dengan fair value. Mereka belum siap untuk terbuka dan transparan bagi pihak lain atau investor yang ingin melihat isi perusahaan mereka. “Masih ada yang seperti itu,” katanya. Disamping itu, Hamid menilai pemerintah atau regulator juga belum benar-benar siap paket-paket regulasi yang menjamin adanya keterbukaan informasi pasar.
salah satu sektor yang juga dinilai belum siap menerapkan fair value adalah perbankan. Menurut Manajer Senior PT Batavia Properindo Sekuritas, Ricky Ichsan, perbankan merupakan sektor yang paling belum siap menerapkan fair value. karena itulah, PSAK 50 dan PSAK 55 tentang Instrumen Keuangan yang sedianya diberlakukan tahun ini diundur hingga 2010. Sebagai gantinya, Bank Indonesia (BI) memberlakukan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI). Dibanding sektor lain, penerapan fair value di mata Ricky tergolong paling rumit dan kompleks. Sebab tak semua instrumen keuangan atau aset bank diperdagangkan di pasar modal.
Namun penundaan PSAK 50 dan PSAK 55 itu, menurut Kepala Biro Penelitian dan Pengaturan Bank – BI, Narni Purwati, menguntungkan perbankan Indonesia. “Ini memberikan tambahan waktu bagi bank untuk melakukan penyesuaian di bidang sistem teknologi, proses bisnis, infrastruktur, dan persiapan SDM” kata Narni.
sembari menunggu deadline 2012, semua pihak terkait, menurut Jusuf Wibisana, harus menyiapkan berbagai langkah penerapan fair value tersebut. Semua PSAK yang diterbitkan DSAK tersebut nantinya harus dijadikan pedoman dalam menyusun laporan keuangan berbasis fair value. Setelah 2012, perusahaan atau entitas yang menggunakan laporan keuangannnya masih tidak menggunakan fair value, oleh auditor akan diberi opini tidak bersih. Opini itu akan menurunkan tingkat kepercayaan publik. “Karena itu, baik regulator, pelaku usaha, maupun pihak-pihak terkait harus bersama-sama melakukan upaya-upaya serius agar penerapan fair value sesuai harapan,” katanya.
Meskipun secara penuh baru akan menerapkan IFRS di tahun 2012, dalam beberapa kasus atau entitas konsep fair value ini di Indonesia sudah diterapkan. Saham yang diperdagangkan di pasar modal, misalnya menurut Ricky Ichsan, dengan sendirinya penilaian sudah menggunakan fair value.
Hanya, menurut Etty Retno Wulandari, untuk penyusunan laproan keuangan bagi perusahaan publik atau emiten, konsep fair value baru diterapkan tahun 2009. Hasilnya seperti apa memang belum bisa diketahui, sebab laporan keuangan emiten berbasis fair value baru diterima Bapepam-LK bulan April 2009 ini. “Jadi belum bisa dikomentari hasilnya seperti apa’” katanya.
Di lingkungan Dana Pensiun, fair value juga sudah diterapkan. Hanya menurut Wakil Ketua Bidang Investasi Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Joni Rolindrawan, DSAK masih memberikan opsi, Pengelola dana pensiun boleh menggunakan hold to maturity, boleh juga mark to market atau fair value. “Hanya, penerapannya harus konsisten. Sekali pakai hold to maturity seterusnya harus begitu. Kalau pakai mark to market, juga harus seterusnys begitu. Tidak boleh ganti-ganti,” katanya.
Meskipun telah disepakati bahwa Indonesia akan menerapkan konsep fair value, namun banyak kalangan mengingatkan untung rugi atau risiko-risiko yang ditimbulkannya. Bagi Ricky, fair value akan menguntungkan pelaku pasar atau investor karena memang mencerminkan nilai pasar yang sebenarnya. “Sebab informasi pasarnya terkini. Hanya, memang, kita akan kesulitan untuk menilai pasar yang tidak aktif. Dan untuk itu diperlukan penilaian model,” katanya.
Hal senada, diungkapkan Jusuf Wibisana. Dibanding historical cost, fair value memiliki tiga keunggulan, yaitu laporan keuangan menjadi lebih relevan untuk dasar pengambilan keputusan; meningkatkan keterbandingan laporan keuangan; dan informasi lebih dekat dengan apa yang diinginkan oleh pemakai laporan keuangan. Dengan demikian, potensi laba/rugi sebuah perusahaan jauh jauh hari sudah bisa diprediksikan.
Namun, Jusuf Wibisana juga masih memberikan catatan bagi penerapan fair value ini. sebagai contoh, untuk penentuan apakah suatu pasar itu aktif atau tidak aktif adalah persoalan krusial dan tidak mudah. Selain itu, pasar mungkin aktif untuk instrumen tertentu, dan tidak aktif untuk instrumen lainnya, dan ini juga tergolong hal yang sulit. Catatan lain lagi adalah, keberadaan willing sellers dan willing buyers kadang tidak cukup untuk menjustifikasi apakah suatu pasar terbilang aktif. “Dan, harga yang terbentuk dalam forced transaction, forced liquidation, atau distressed sales mungkin tidak mencerminkan nilai wajar yang sebenarnya,” katanya.
Secara umum, menurut Hamid Yusuf, penerapan fair value akan menguntungkan perekonomian Indonesia. Sebab, tanpa fair value, aset-aset perekonomian nasional, baik yang dimiliki swasta maupun pemerintah, selama ini dinilai terlalu rendah, jauh lebih rendah dari nilai sewajarnya. Ia mencontohkan set-aset perusahaan perkebunan yang hingga saat ini masih menggunakan nilai buku. Sebagai gambaran, sebelum 1997, kebun sawit seluas satu hektare, misalnya cukup dibangun dengan uang Rp 12 juta atau hanya Rp 6 juta sebelum tahun 1990-an. Setelah terjadi krisis moneter 1998/1998, ketika harga dolar AS sudah naik tiga kali, untuk hal yang sama dibutuhkan biaya sampai Rp 30 juta. Sehingga, orang baru membuka perusahaan perkebunan, nilai bukunya sudah diatas Rp 25 juta semua. Padahal, penghasilannya sama dengan kebun-kebun lama yang lebih murah biayanya. Tapi nilai buku kebun lama kecil. “Ini tidak menggambarkan nilai yang sebenarnya.”katanya.
(sumber: Akuntan Indonesia, majalah edisi no 16,April 2009, Ikatan Akuntan Indonesia)
The Big Four Akuntansi (Sejarah The Big Four Auditors)
The Big 4 atau kadang ditulis The Big Four merupakan empat kantor akuntan berskala internasional yang terbesar saat ini, yang menangani sebagian besar audit bagi perusahaan, baik terbuka (public) maupun tertutup (private). Kantor akuntan yang menjadi The Big Four firms adalah sebagai berikut:
Firm | Revenues | People | Fiscal Year |
Deloitte Touche Tohmatsu | $27.4bn | 165,000 | 2008 |
PricewaterhouseCoopers | $25.2bn | 146,700 | 2007 |
Ernst & Young | $21.1bn | 130,000 | 2007 |
KPMG | $19.8bn | 123,000 | 2007 |
Sebelumnya, kelompok kantor akuntan terbesar ini disebut sebagai “Big Eight” sebelum adanya serangkaian merger dan liquidasi Arthur Andersen yang terlibat skandal Enron pada tahun 2001.
Big 8 (sampai dengan tahun 1989)
Kantor-kantor akuntan yang disebut sebagai the Big 8 menggambarkan dominasi delapan kantor akuntan terbesar pada abad ke-20, yaitu:
1. Arthur Andersen
2. Arthur Young & Company
3. Coopers & Lybrand
4. Ernst & Whinney (sampai dengan 1979 Ernst & Ernst bermarkas di US dan Whinney Murray di UK)
5. Deloitte Haskins & Sells (sampai dengan 1978 Haskins & Sells bermarkas di US dan Deloitte Plende Griffiths di UK)
6. Peat Marwick Mitchell (yang kemudian berubah menjadi Peat Marwick)
7. Price Waterhouse
8. Touche Ross
Sebagian besar the Big 8 merupakan aliansi antara firma yang berasal dari British dan US pada abad ke-19 atau awal abad ke-20. Price Waterhouse merupakan UK firm yang kemudian membuka cabang di US pada 1890 dan kemudian terpisah dan berdiri sendiri. Firma Peat Marwick Mitchell merupakan gabungan firma US dan UK dan menggunakan nama yang sama pada tahun 1925. Firma lainnya menggunakan nama yang berbeda untuk domestic business (tidak menggunakan nama bersama/common names), antara lain Touche Ross tahun 1960, Arthur Young (at first Arthur Young, McLelland Moores) tahun 1968, Coopers & Lybrand tahun 1973, Deloitte Haskins & Sells tahun 1978 dan Ernst & Whinney tahun 1979.
Big 6 (1989-1998)
Kompetisi diantara kantor akuntan semakin intensif dan the Big 8 menjadi the Big 6pada Juni 1989 ketika Ernst & Whinney merger dengan Arthur Young mejadi Ernst & Young serta Deloitte, Haskins & Sells merger dengan Touche Ross menjadi Deloitte & Touche pada Agustus 1989.
Selengkapnya the Big Six mencakup:
3. Ernst & Young (Ernst & Whinney and Arthur Young & Company merged in 1989)
4. Deloitte & Touche (Deloitte Haskins & Sells and Touche Ross mergen in 1989)
Big 5 (1998-2002)
The Big 6 menjadi the Big 5 pada Juli 1998 ketika Price Waterhouse merger dengan Coopers & Lybrand menjadi PricewaterhouseCoopers.
Selengkapnya the Big 5 adalah:
3. Deloitte & Touche
4. Peat Marwick Mitchell
5. PricewaterhouseCoopers (Price Waterhouse and Coopers & Lybrand merged in 1998)
Big 4 (2002-sekarang)
Kasus kolapsnya Enron telah menyeret Arthur Andersen, yang mengadit laporan keunagan Enron, ke dalam serangkaian penyelidikan oleh otoritas bursa US. Hasil penyelidikan menyimpulkan Arthur Andersen terlibat dalam skandal tersebut. Kantor akuntan Arthur Andersen didakwa melawan hukum karena menghancurkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengauditan Enron, dan menutup-nutupi kerugian jutaan dolar. Hasil keputusan hukum secara efektif menyebabkan kebangkrutan global dari bisnis Arthur Andersen. Kantor akuntan di seluruh dunia yang berada di bawah bendera Arthur Andersen seluruhnya dijual dan kebanyakan menjadi anggota kantor akuntan internasional lainnya. Di UK, para partner Arthur Andersen setempat kebanyakan bergabung dengan Ernst & Young dan Deloitte Touche Tohmatsu. Di Indonesia, para partner Arthur Andersen pada akhirnya bergabung dengan Ernst & Young.
The big 4 selengkapnya adalah:
2. Deloitte Touche Tohmatsu
3. KPMG
4. PricewaterhouseCoopers